Jumat, 14 November 2008

Bukan Kebetulan

Yakinlah Apa Yang Terjadi Itu Bukan Kebetulan


Dua orang pria, keduanya menderita sakit keras, sedang dirawat di sebuah kamar rumah sakit. Seorang di antaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskannya duduk di tempat tidur selama satu jam di setiap sore untuk mengosongkan cairan dari paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya berada tepat di sisi jendela satu-satunya yang ada di kamar itu.


Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus di atas punggungnya.

Setiap hari mereka saling bercakap-cakap selama berjam-jam. Mereka membicarakan istri dan keluarga, rumah, pekerjaan, keterlibatan mereka di ketentaraan, dan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi selama liburan.

Setiap sore, ketika pria yang tempat tidurnya berada dekat jendela di perbolehkan untuk duduk, ia menceritakan tentang apa yang terlihat di luar jendela kepada rekan sekamarnya. Selama satu jam itulah, pria ke dua merasa begitu senang dan bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan dan warna-warna indah yang ada di luar sana.

"Di luar jendela, tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu-perahu mainan. Beberapa pasangan berjalan bergandengan di tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga berwarnakan pelangi. Sebuah pohon tua besar menghiasi taman itu. Jauh di atas sana terlihat kaki langit kota yang mempesona. Suatu senja yang indah."

Pria pertama itu menceritakan keadaan di luar jendela dengan detil, sedangkan pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam menjalani kesehariannya di rumah sakit itu. Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya bertambah.

Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk di dekat jendela menceritakan tentang parade karnaval yang sedang melintas. Meski pria yang ke dua tidak dapat mendengar suara parade itu, namun ia dapat melihatnya melalui pandangan mata pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan kata-kata yang indah.

Begitulah seterusnya, dari hari ke hari. Dan, satu minggu pun berlalu.

Suatu pagi, perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati ternyata pria yang berbaring di dekat jendela itu telah meninggal dunia dengan tenang dalam tidurnya. Perawat itu menjadi sedih lalu memanggil perawat lain untuk memindahkannya ke ruang jenazah. Kemudian pria yang kedua ini meminta pada perawat agar ia bisa dipindahkan ke tempat tidur di dekat jendela itu. Perawat itu menuruti kemauannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatu ya. Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan pria tadi seorang diri dalam kamar.

Dengan perlahan dan kesakitan, pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senangnya, akhirnya ia bisa melihat sendiri dan menikmati semua keindahan itu. Hatinya tegang, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela di samping tempat tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata, jendela itu menghadap ke sebuah TEMBOK KOSONG!!!

Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang sudah wafat tadi bercerita seolah-olah melihat semua pemandangan yang luar biasa indah di balik jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa sesungguhnya pria tadi adalah seorang yang buta bahkan tidak bisa melihat tembok sekalipun.

"Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup," kata perawat itu.

***



ikhwahfillah, ana percaya, setiap kata selalu bermakna bagi setiap orang yang mendengarnya. Setiap kata, adalah layaknya pemicu, yang mampu menelisik sisi terdalam hati manusia, dan membuat kita melakukan sesuatu. Kata-kata, akan selalu memacu dan memicu kita untuk menggerakkan setiap anggota tubuh kita dalam berpikir, dan bertindak. Apalagi jika kata-kata itu mengajak pada kebaikan.

Ana juga percaya, dalam kata-kata, tersimpan kekuatan yang sangat luar biasa. Dan kita telah sama-sama melihatnya dalam cerita tadi. Kekuatan kata-kata, akan selalu hadir pada kita yang percaya.

kata-kata yang santun, sopan, penuh dengan motivasi, bernilai dukungan, memberikan kontribusi positif dalam setiap langkah manusia. Ujaran-ujaran yang bersemangat, tutur kata yang membangun, selalu menghadirkan sisi terbaik dalam hidup kita. Ada hal-hal yang mempesona saat kita mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Menyampaikan keburukan, sebanding dengan setengah kemuraman, namun, menyampaikan kebahagiaan akan melipatgandakan kebahagiaan itu sendiri.

Ana percaya, kita mampu untuk melakukan itu semua. Menyampaikan setiap ujaran dengan santun, dengan sopan. Sampaikanlah semua kebaikan dengan bijak, dengan santun.

Karena Allah telah memberikan kita nikmat yang luar biasa, karena menyampaikan kebaikan adalah sebaik-baik amal, dan karena kita ingin memperoleh kehidupan yang lebih berkah melalui kata-kata kita. Sehingga Allah akan ridha pada kita, Allah akan mencintai kita, Allah akan memberikan rahmatNya, Allah akan memberikan pahala yang terus-menerus dari setiap kata-kata yang baik dari kita, serta Allah akan senantiasa melipatgandakan pahala kita, sebagaimana janjiNya :

“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(Ali Imran : 104)
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(An-Nahl : 97)
Coba kita menyelami masing-masing diri kita dan bertanya,”Tidak maukah kita menjadi bagian dari golongan yang kelak akan merasakan nikmat luar biasa dari Allah???”
Sedangkan Rosulullah saw sendiri pernah bersabda,”Sampaikanlah meskipun hanya satu ayat.”
Selamat berjuang memperbaiki diri dan orang lain sebanyak2nya mulai detik ini juga, wahai ihkwahfillah…
Semoga Allah senantiasa menguatkan kita dan memberikan keistiqomahan pada kita semua.amin

Baca Selengkapnya ...

Selasa, 04 November 2008

Keegoisan Sang Lara

“Bruak…!!!” entahlah, sudah kesekian kali suara seperti ini terdengar olehku. Ku lihat tak ada seorangpun di rumah. Segera saja aku beranjak turun ke dapur, mengambil air minum.
Pagi ini benar-benar sepi, sebagian besar penghuni rumah memang sedang pulang kampung, menghabiskan waktu liburan semester genap. Namun, teman-teman seangkatanku menghabiskan liburan kali ini untuk mengambil KKN. Sesekali saja mereka datang untuk mengambil keperluan KKN. Hanya aku dan Rita, adik angkatanku yang memang mengambil SP.


Tiba-tiba kudengar HP ku berbunyi. SMS. Ku biarkan begitu saja. Rasa letihku mengalahkan keinginanku untuk membuka SMS itu. Namun, aku ingat bahwa Najma, teman sekamarku yang sedang KKN menitipkan sesuatu padaku. Karuan saja ku ambil HP butut yang sudah kumiliki hampir 5 tahun itu.
“Ass. Sudah baca email ana” Aku tertegun melihat pengirimnya. Mas Hamdan? Bagaimana mungkin aku membaca emailnya? Lagian ngapain juga kirim email?
“Blm” singkat, ku coba akhiri SMS itu. Kemudian ku rebahkan diriku. Aku ingin istirahat karena habis dhuhur aku harus kerja.
Tak berapa lama, ku dengar sebuah ketukan. Aku yakin bukan Rita, karena kelasnya akan berakhir sehabis dhuhur. Seketika aku berlari ke balkon, untuk menanyakan siapa yang ada dibawah. Sebuah suara lelaki menjawabnya. Ternyata Pak Rusdi, mahasiswa S2 yang semalam memintaku untuk mentranslate beberapa artikle untuk tugasnya. Lumayan, buat nutupi kebutuhan sehari-hari.
****
Pukul 9 malam. Jalanan mulai sepi, hanya beberapa motor yang melintas sepanjang jalan yang ku lalui. Ada sedikit perasaan takut ketika harus melewati sekumpulan pemuda-pemuda kampung berpenampilan rocker, yang nongkrong di sebuah gang. Allah…kuatkan aku. Dengan menghadirkan wajah sok berani, ku lalui gerombolan pemuda yang bersiul-siul tak karuan. Aku tahu, terkadang aku memang harus jadi seorang pembohong. Demi keselamatanku, dan demi keluargaku.
Penasaran dengan email yang dikirim mas Hamdan, ku belokkan langkahku ke arah warnet. Entahlah kenapa aku merasa terganggu dengan SMS singkat itu. Dengan segera, ku masukkan ID dan passwordku. 11 unread messages, 4 message dari mas Hamdan. Aku tak berminat membaca pesan itu sekarang. Mengcopy adalah cara terbaik, apalagi malam sudah mulai larut.
Setibanya di rumah, kulihat Rita sedang asyik nonton film kesayangannya. Setelah mengucap salam, ku buka komputer temanku. Rita hanya menatapku heran, tapi aku tak ambil pusing, daripada aku penasaran dengan isi email saudaraku itu. Memang aneh rasanya SMS yang dikirimnya hari ini. seakan ada hal penting hingga aku harus segera membaca pesannya. Loading. Flash segera kumasukkan ke USB. Ku buka folder tempatku menyimpan pesan-pesan itu.
Sebuah pesan yang cukup panjang. Rentetan kata yang tidak biasanya hadir di SMS Mas Hamdan. Ada sesak yang tiba-tiba menyeruak ketika barisan-barisan kalimat itu merangkai sebuah makna. Ada permohonan dari gelisah yang selama ini tak pernah ku ketahui meskipun aku telah lama mengenalnya. Allah…apa yang mesti hamba lakukan?
Dia saudara ana. Ana tidak tega melihatnya menangis. Sudah dua kali dia cuci darah tanpa sepengetahuan keluarganya. Dan tadi malam, dia bilang sakitnya kambuh. Ketika ana sarankan untuk bilang ke ortu, dengan segala keegoisannya, dia menolak. Katanya dia tidak mau merepotkan orang tuanya. Ana bingung, ana ingin sekali menceritakannya pada keluarganya, tapi dia melarang. Kemarin saja dia pingsan. Mungkin anti bisa memberi solusi. Ana benar-benar tidak tega. Ana kira, keadaannya sudah parah. Mungkin lebih baik ana menceritakannya pada keluarga Lara. Menurut anti?
Lama aku terpaku di depan komputer. Lara. Seorang gadis tegar yang baru ku ketahui ada dalam kehidupan mas Hamdan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksinya jika orang tuanya tahu. Ada perasaan tak tega, yang menuntutku untuk menyetujui sikap mas Hamdan, namun akupun bisa merasakan dilema yang dialaminya. Egoiskah ia?Ah..kurasa aku yang tahu apa yang mesti kulakukan.
“As. Af1, jangan bilang!” segera pesan itu kukirim. Allah, semoga ini yang terbaik.
Tak ada reaksi. Lama kupandangi Hp yang tergeletak tak jauh dari tempatku. Pikiranku masih belum bisa menerima sikapku barusan, sementara hatiku tetap berkoar bahwa itulah yang harus kulakukan. Sekali lagi kupandangi pesan panjang itu, hingga barisan tulisan itu tak lagi membentuk kalimat, hanya garis hitam yang makin lama makin menghilang, dan gelap.
****
“Kenapa nggak boleh bilang?” suara mas Hamdan kian meninggi. Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu, tapi dia terus mendesak.
“Mas, Husna tahu niat baik mas Hamdan, tapi coba pikirkan perasaan Lara. Dia melakukan semua ini demi keluarganya. Apa Mas mau mengecewakannya?” tandasku.
“Gimana sih, itukan makin memperparah kondisinya? Anti mau dia tambah parah?” ku tangkap nada kesal dari ucapannya.
“Sekali lagi, mungkin ini nampak salah, tapi Husna cewek. Husna bisa ngerasain perasaan Lara, Mas”
“Jawaban klise” singkat tapi mengena. Seakan ia tahu maksudku yang sebenarnya.
“Mas tanya pendapat Husna kan? Dan itulah jawaban Husna. Afwan. mungkin mas Hamdan punya pertimbangan sendiri, sebab Mas lah yang mengenal Lara. Afwan.” Ku tutup pembicaraan ini. entah apa yang dipikirkan oleh saudaraku itu. Keputusanku sudah bulat.
Hpku berderit. Aku yakin SMS dari mas Hamdan. “Ana benar-benar tidak mengerti dengan sikap anti”. Sebuah ungkapan yang cukup pedas mampir di inbox ku. Allah..hamba benar-benar bingung. Lara, bukan kau saja yang gelisah, ternyata aku sendiripun tak bisa membantumu disana. Andai saja aku bisa tegas.
****
Aku masih duduk di ruang tunggu ketika tiba-tiba, mataku menangkap bayangan sosok yang sangat ku kenal. Ku coba memastikan penglihatanku. Mas Hamdan. Apa yang sebenarnya dilakukannya disini? Selang tak berapa lama, seorang gadis keluar dari ruang dokter. Wajah di balik kerudung itu begitu pucat. Ada nanar dalam matanya. Ya, aku bisa merasakannya dengan jelas. Lara. Pasti dia Lara yang diceritakan Mas Hamdan padaku.
Aku segera bersembunyi ketika kulihat mereka beranjak keluar. Ada getir yang tiba-tiba terasa. Perih.., antara perasaan bersalah yang datang dari pikir jernihku serta keegoisan yang membelengguku lantaran jiwaku yang bimbang. Pandanganku masih mengikuti langkah mereka, hingga kulihat gadis itu terjatuh. Karuan saja aku keluar dari tempat persembunyianku. Rupanya mas Hamdan menyadari kehadiranku. Sebuah tatapan tajampun ia tujukan padaku. Ingin rasanya aku melarikan diri, tapi kakiku terasa terpaku. Hanya nafas tak beraturan yang kian menyesakkan dadaku. Bibirku tak henti menyebut namaNya. Allah…kuatkan hamba.
Kulihat mas Hamdan mendekatiku. Aku tak tahu apa yang akan dilakukannya. Sebuah kemarahan besar terbayang, sudahlah!! Aku memang patut mendapatkannya.
“Apa yang anti lakukan disini?”. Aku hanya diam. Sorot tajam itu seakan makin menggarami luka yang kurasa. “Ana benar-benar nggak ngerti dengan sikap anti. Ana kira anti orang yang peduli, tapi ternyata…”
Aku diam. Lidahku tercekat. Ya, dia memang pantas mengatakannya. Mengatakan semua keburukanku, dan memang itulah yang kuinginkan. Sebuah cara untuk mengakhiri semua. “Lara sakit, dan anti malah mendukung keegoisan yang gila ini. Entah kenapa kata-kata anti kuturuti. Ironis kan? Berusaha menenangkan seseorang dengan membuatnya menderita terlebih dahulu”.
Allah…kenapa kata-kata itu begitu menghujam. Kenapa aku merasa sakit? Di antara kabur pandanganku, masih sempat ku tangkap sorot mata memohon milik Lara. Ah.., Lara, aku benar-benar tak tahu apakah perbuatanku ini benar atau salah. Hatiku membenarkannya, namun pikiranku menolak habis-habisan. Gadis sepertimu tak layak mendapat perlakuan seperti ini. Akhirnya aku hanya bisa mengutuk sikapku ketika mereka meninggalkan rumah sakit.
****
Kupercepat langkahku menyusuri lorong-lorong yang lebarnya hanya cukup untuk dua orang dewasa. Rintik semakin lincah menari di antara selaput alam, membuai mereka yang lelap di antara empuk bantal dan tebal selimut. Sementara langkahku mencipta jejak yang akan segera hilang tergenang air. Dan tak akan pernah di ketahui mereka yang lewat esok pagi. Kurasakan Hp ku bergetar. Namun hujan mengukuhkan tekadku untuk terus berjalan tanpa menghiraukan getaran benda kecil itu.
Setiba di rumah, yang kudapati hanya sepi. Aku baru sadar bahwa sekarang hari Kamis. Rita pasti pulang kampung. Sendiri..ku sapukan pandanganku pada ruang tengah di lantai dua. Tiba-tiba aku merasa aneh. Tanpa ku perintah, langkahku kuseret menaiki tangga ke lantai tiga. Kurobohkan tubuhku diantara cucian kering yang belum sempat kulipat.
Kembali Hpku berdering. Tanpa melihat nama yang tampil di layar, ku angkat panggilan itu.
“Assalamu’alaikum. Husna, ana baru dapat sms dari Lara, dia sakit lagi. Dia telat cuci darah,” sebuah suara yang jelas menunjukkan kekhawatiran yang sangat membuatku segera bangkit.
“Terus gimana? Lebih baik di bawa kerumah sakit”
“Apa tidak sebaiknya bilang pada orang tuanya? Ana tahu ini pasti mengecewakan Lara, tapi jika di biarkan….,” ada ragu di antara suara mas Hamdan
“Mas, Husna juga nggak tega, tapi bagaimana dengan perasaan Lara? Husna juga bingung dengan semua itu.”
“Terus apa akan dibiarkan seperti ini?Anti tega melihatnya? Tolong, jangan hanya mengandalkan perasaan saja. Apa sikap seperti itu tidak berarti mendholimi diri sendiri? Husna, tolong berikan solusi. Ana yakin, anti tahu apa yang terbaik.”
Aku hanya diam. Allah…benarkah aku mendholimi Lara? Aku benar-benar bingung. Pikiranku kacau. Ibu…tiba-tiba wajah tua itu melintas begitu saja. Ada kerinduan yang membuncah. Aku ingin melakukan hal ini, hal yang tak pernah bisa kulakukan. Hal yang membuatku jauh darimu Ibu.
“Husna? Anti masih disana kan?” suara Mas Hamdan segera menyadarkanku.
Allah…mungkin hamba tidak bisa melakukannya, tapi hamba harus melakukan ini pada Lara. Keputusan yang berbeda harus ku ambil. “Bilang saja Mas.”
Ada lega yang tiba-tiba hadir. Lara, sungguh ku hargai keegoisanmu itu. Tapi aku tak tega jika gadis sepertimu harus menderita seperti ini. Kau gadis cerdas yang dibutuhkan umat. Aku yakin, orang sepertimu akan banyak berguna bagi perjuangan ini.
Hujan diluar perlahan berubah gerimis. Dari kaca jendela, ku lihat mendung berarak, menghadirkan rembulan yang sedari tadi bersembunyi di baliknya. Semoga semua akan seperti pemandangan ini.
****
Bruak….!!! Sekali lagi, kursi dikamarku terjungkir lantaran tertabrak langkahku. Pandangan mataku kian kabur. Ku cari pegangan, namun semua benda seakan menjauh tak ingin ku sentuh.
Samar, kudengar bunyi langkah di lantai bawah. Ingin rasanya aku teriak memanggil siapa saja yang datang. Namun tenggorokanku sakit, ku coba keluarkan suara, namun hanya erangan yang terdengar. Allah…kuatkan hamba. Tiba-tiba kurasakan tubuhku melemah. Perutku panas, membuatku ingin muntah. Namun tak ada yang keluar dari mulutku selain cairan merah yang mengental. Di antara buram pandanganku, ku lihat sesosok bergamis di pintu.
“Husna…,” Najma, berlari kearahku. Tapi tubuhku sudah tak kuat. Yang bisa kulakukan hanya mendengar isaknya, setalah itu semua hanya sepi belaka.
****
Epilog.
Di sebuah rumah, seorang ibu menangis tanpa suara. Hanya air mata yang menjelaskan adanya luka yang dalam. Beberapa gadis duduk tertunduk di dekat wanita tua itu. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi.
“Kenapa dia tidak mengatakan pada ibu bahwa dia sakit?” rintih wanita itu. Diam. Gadis-gadis bergamis itu makin tertunduk dengan penyesalan dan kegelisahannya. Kegelisahan karena rasa bersalah telah menyembunyikan semua ini selama hampir empat tahun.
Sementara itu, di sebuah gundukan tanah merah, seorang pemuda terpekur mengusap nisan yang masih baru. Kembang di atas tanah itu masih basah, menandakan bahwa baru beberapa saat yang lalu, sebuah tubuh di kubur dibawah sana. Ada gerimis di hatinya, sedang sang angin senja menggugurkan kamboja yang telah renta. Bertebaran di atas makam insan yang tak pernah bisa menolak takdirnya.


Baca Selengkapnya ...
Template by : kendhin x-template.blogspot.com